Keilmuan Akademik Vs Ilmu Kehidupan
Oleh : Agus Nur Cahyo, Pemimpin Redaksi LPM Rhetor dan mahasiswa Fak. Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Munculnya kriteria Capres dan Cawapres 2009 yang mensyaratkan minimal bergelar Strata Satu (S1) menurut penulis, karena adanya krisis kepemimpinan. Wacana tersebut lahir di tengah akumulasi berbagai krisis yang telah lama menjerat bangsa yang hingga kini tak juga kunjung teratasi oleh para pemimpin negara. Dari krisis kepercayaan, nilai dan budaya sampai pada krisis akhlak. Krisis politik dan kepemimpinan merupakan produk dari adanya krisis-krisis tersebut.
Badai krisis kepemimpinan dan melorotnya kepercayaan rakyat kepada sosok pemimpin, menjadikan format ideal seorang pemimpin menjadi kabur. Presiden yang merupakan sosok pemimpin yang memegang peran sentral dalam negara menjadi sasaran utama ‘perdebatan’ politik. Sehingga persepsi ilmiah pun muncul. Untuk memunculkan seorang pemimpin (presiden) yang ideal haruslah dengan menentukan gelar akademiknya, yaitu minimal SI.
Wacana tersebut merupakan keputusan yang perlu dipertanggungjawabkan secara empirik. Siapa yang dapat menjamin calon presiden yang memiliki gelar minimal S1 lebih berkualitas kepemimpinanannya dari pada yang sebelum-sebelumnya. Secara politik, penyebutan kriteria calon presiden tersebut mengundang polemik antara pemimpin yang berpengalaman akademik lebih tinggi dengan yang dibawahnya. Akhirnya, format ideal seorang pemimpin yang berkualitaspun bisa jadi hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki gelar akademik yang tinggi.
Yang menjadi persoalan utama adalah apakah gelar SI menjadi patokan utama untuk menentukan dan menemukan kualitas seorang pemimpin bangsa. Memang, dalam wilayah akademik tingkat pendidikan formal seseorang sangat mungkin menentukan kualitas atau kapabilitas dilingkungan akademiknya. Namun, presiden bukanlah wilayah akademik yang lebih mengutamakan kacakapan intelektual melalui pengembangan keilmuannya, melainkan wilayah parktis yang membutuhkan kerja kongkret dibanding teoritis.
Presdien ialah seorang yang telah memiliki kecakapan memimpin dan kemampuan menjalankan amanat penuh dari yang dipimpinnya. Kriteria ‘Kecakapan Memimpin’, musti seseorang yang benar-benar memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Artinya, seorang pemimpin benar-benar memperhatikan, merasakan dan berusaha secara maksimal untuk mewujudkan keinginan bersama seluruh rakyatnya. Yakni, terwujudnya keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
Praktis, seorang pemimpin bangsa di samping memiliki kecakapan intelaktual, terdapat aspek yang jauh lebih penting lagi. Yakni, mimiliki kecakapan Ilmu Kehidupan. Ilmu Kehidupan ialah ilmu yang diperoleh seseorang yang secara hikmah memperlajari dan menghayati berbagai fitrah kehidupan. Kemudian ia dapat menjalankan fungsi hidup sebagai mana kehidupan menjalani kodratnya dari Tuhan untuk manusia.
Ilmu Kehidupan ini memiliki banyak sekali hikmah dan aplikasinya. Kecakapan khusus ini menuntut seseorang untuk lebih menghargai dan menghormati kehidupan sebagai karunia Tuhan untuk didayagunakan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, manusia menjalankan fungsinya sebagai ‘Khailfah Tuhan’ di muka bumi. Seberapa besarnya ia dapat menjadi rahmat bagi manusia yang lain melalui fungsinya tersebut.
Seorang presiden yang dapat menguasai Ilmu Kehidupan akan memaksimalkan fungsinya sebagaimana seorang pemimpin. Ia mengayomi, melindungi, dan menjadi pelayan rakyatnya. Bahkan, ketika ia melenceng tak segan-segan untuk minta dikritik. Karena seorang pemimpin yang baik pada dasarnya bukan saja memimpin rakyat, melainkan juga dibimbing dan dipimpin oleh rakyatnya.
Secara aplikatif, seorang pemimpin yang memiliki Ilmu Kehidupan akan memposisikan fungsinya sebagai penegak keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Memprioritaskan kepentingan rakyatnya dari pada diri dan keluarganya, berlaku jujur, tidak korupsi serta menjadi teladan bagi rakyatnya. Sejarah telah membuktikan, banyak pemimpin besar dunia yang berangkat dari orang biasa secara pendidikannya, tetapi sukses dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
Salah satunya ialah Muhammad SAW, yang oleh Michael Hart ditempatkan pada posisi pertama dalam “Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”, karena kesuksesan menjalankan fungsinya sebagai seorang pemimpin. Muhammad SAW ialah pemimpin yang menguasai dan mengamalkan Ilmu Kehidupan sebagai seorang pemimpin kepada rakyatnya. Bahkan, ia tidak mempunyai gelar akademik.
Wacana kriteria ideal seorang presiden haruslah minimal bergelar S1 perlu ditelisik secara empiris dan pembuktian kebenaran historis. Siapapun boleh menjadi presiden bangsa ini, asalkan memiliki kemampuan intelektual dan memiliki Ilmu Kehidupan secara matang. Seorang guru SD, penyair, atau petani pun bisa menjadi presiden, asalkan memiliki sikap kepemimpinan yang tinggi, jujur, piawai berorganisasi, mendengar suara rakyatnya, tidak korupsi serta kriteria lain menurut kacamata Ilmu Kehidipan. Apa gunanya memiliki calon-calon pemimpin negara yang memiliki gelar tinggi namun mental yang ditanamkan ialah mental pencuri. Koruptor!.
Alhasil, apapun latar belakangnya terhadap calon presiden, kalau ia memiliki kematangan Ilmu Kehidupan boleh-boleh saja. Toh yang paling dibutuhkan rakyat ialah terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan sebagai manifestasi dari Ilmu Kehidupan itu sendiri. Bukan gelar akademis yang ‘melangit’ namun tidak bisa ‘membumi’. Sebuah keberuntungan besar jika ada tipe pemimpin yang dapat menggabungkan dua kapasitas tersebut.
Jawa Pos, kamis, 22 Maret 2007
0 komentar:
Posting Komentar