Menulis, Sebuah ”Orgasme” Pikiran
Oleh: Raodatul Jannah, Mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Bagi sebagian penulis, aktivitas menulis tak ubahnya bagai sebuah ”orgasme”. Terminologi ini dalam pandangan konvensional seringkali dipahami sebagai puncak kepuasan atau kenikmatan (seks). Sebuah proses interaksi yang intens antara lawan jenis dengan mendayagunakan saraf-saraf perangsang sebagai stimulus untuk mencapai orgasme. Sehingga, jika saraf-saraf itu terangsang melebihi tingkat kepekaan maka terjadilah orgasme.
Nah, menulis pun juga seperti itu. Secara teoritis, menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi ide gagasan. Jika menulis adalah ”proses”, maka proses inilah yang kemudian mengidentikkan seseorang untuk melalui tahap layaknya ”orgasme” dalam arti yang sesungguhnya.
Menulis dalam pengertian ini, merupakan sebuah proses interaksi-responsif saraf pikiran dengan sejumput fenomena-fenomena kehidupan sehingga lahirlah berbagai macam ide atau gagasan. Ide ini kemudian mengalami kontemplasi (penggodogan) dengan memaksimalkan segenap konsentrasi pikiran. Jika seseorang sedang melalui tahap ini, maka ia mengalami apa yang kemudian disebut dengan ”kegelisahan”.
Rasa kegelisahan ini lahir sebagai akibat dari adanya proses pengendapan ide yang ada di alam bawah sadar, sampai tiba saatnya ide gagasan itu ”matang”. Pada saat itulah ide tersebut siap untuk dimuntahkan (dituliskan). Dalam kondisi seperti ini, Ia membutuhkan media (buku tulis, komputer atau lainnya) sebagai tempat untuk pelampiasan. Sehingga jika tempat pelampiasan itu telah ada, ide gagasan tersebut mengalir bak mata air yang mencari permukaan dan menyumbul dengan derasnya.
Lantas jika menulis diidentikkan dengan orgasme, pertanyaannya sekarang ”puncak kepuasan” terhadap apa?. Tentu kepuasan dari rasa kemerdekaannya terhadap ”serbuan” ide di dalam pikiran. Karena, serbuan ide-ide tersebut akan terus berkecamuk dan menggelayuti si empunya dalam otak bawah sadar. Jika rasa seperti itu mendera, siap-siaplah untuk mengalami kegelisahan yang hebat. Tidak nyenyak tidur, tidak enak makan dan sebagainya. Betul-betul tersiksa pikirannya.
Maka, salah satu jalannya ialah dengan menelorkan ide gagasan itu lewat tulisan. Karena jika seseorang melakukan pembacaan terhadap wacana apapun, kemudian melahirkan ide gagasan dan memaksanya untuk menggodognya dalam otak (berfikir) tanpa mengeluarkannya dalam bentuk tulisan, maka dapat menimbulkan rasa kegelisahan yang terus menggelayuti. Bisa-bisa berubah menjadi penyakit, stres.
Menulis merupakan pelampiasan pikiran untuk mengobati rasa gelisah dan stres yang terus meradang karena ”serbuan” ide. Maka, menulis dapat membawa seseorang menuju kepusasan pikiran. Yang kemudian disebut sebagai ”orgasme” pikiran. Fungsinya tidak lain sebagai pencuci pikiran dan refresh.
Layaknya proses perangsangan dalam hubungan seks, dimana melibatkan seluruh tenaga dan saraf perangsang sehingga tercapailah orgasme. Sebuah puncak kepusaan dan kenikmatan atas terpenuhinya ”gelora” dari saraf perangsang. Maka menulis juga seperti itu. Dengan melibatkan seluruh saraf otak, kemudian mengalami kontemplasi dan kegelisahan hebat. Namun jika sudah rampung dituliskan, pikiran terasa nikmat, puas dan tentram.
Publikasi Suara Mahasiswa di kedaulatan rakyat, selasa 13 oktober 2009.
waaaa
BalasHapus