Minggu, 10 April 2011

Menumbuhkan Budaya Sadar Bencana

Menumbuhkan Budaya Sadar Bencana
Oleh: Rohyaddin Amin, mahasiswa Jurusan Teknik Informatika STIMIK El-Rahma Yogyakarta.

          Satu realita yang tidak bisa dielakkan adalah Indonesia negara rawan gempa. Hal itu merupakan poin utama dan mendasar yang musti tertanam di benak masyarakat nusantara. Artinya, menumbuhkan kesadaran awal masyarakat bahwa bumi tempatnya berpijak ini termasuk daerah yang rawan gempa, merupakan langkah fundamental yang pertama harus ditempuh.
          Sebab selama ini, masih banyak masyarakat kita yang belum mengetahui betul posisi geografis kepulauan nusantara yang sering di goyang gempa ini. Terutama masyarakat desa, yang masih mengganggap bencana semata-mata sebagai “marahnya” Tuhan, bukan sebuah fenomena yang secara keilmuan juga memberikan hikmah untuk dipelajari. Padahal ilmu geografi menjelaskan secara rasional mengapa negeri ini seringkali diguncang gempa sekaligus banyak memakan korban.
          Posisi geografis kepulauan Indonesia, yang terletak di pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia, ditambah dengan Pasifik di Timur Laut, membuat negeri ini rawan gempa. Pergerakan terus-menerus dari ketiga lempeng tersebut menyebabkan Indonesia masuk dalam kawasan yang sering mengalami “goyangan”. Buktinya, hanya selang sebulan Indonesia telah diguncang dua gempa yang telah menghancurkan rumah, gedung dan menelan korban jiwa di Jawa Barat dan Sumatera Barat.
          Hal ini berarti, masyarakat kita berada dalam kenyataan bahwa bahaya gempa bumi bisa menghantuinya setiap saat. Mau tidak mau, kita harus mampu hidup dalam realita tersebut. Maka, menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap gempa merupakan langkah yang mendesak. Mengingat guncangan gempa yang sering terjadi telah membuat trauma psikologis di masyarakat. Sehingga, mereka takut dan kebingungan hendak berbuat apa.
          Jika kesadaran masyarakat telah tumbuh, maka phobia akan adanya gempa bumi dapat diminimalisir. Karena masyarakat telah mempunyai kesadaran penuh, bahwa gempa bumi telah menjadi bagian dari hidup kita. Sehingga jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi, masyarakat tidak lantas panik melainkan telah mempunyai keberanian untuk melakukan tindakan penanganan antisipasi dan penyelamatan sejak dini.
          Masyarakat memang harus mempunyai semacam saving self atau penyelamatan terhadap dirinya sendiri. Maka salah satu langkahnya ialah harus mengembangkan budaya sadar atas bencana. Kesadaran terhadap kondisi real sebagai Negara rawan gempa, setidaknya dapat menanamkan kesiapan mental pada diri masyarakat untuk menghadapinya.
          Menumbuhkan budaya sadar gempa ini penting karena prospeknya tidak hanya jangka pendek (saat terjadi gempa), melainkan jangka panjang yang dapat tertanam sampai anak cucu. Sebab, budaya dalam masyarakat merupakan sebuah sistem kultural yang secara otomatis terus-menerus ditanam dan diwariskan. Dengan memasukkan kesadaran akan “negeri gempa” berikut cara penanggulangannya dalam ranah budaya, ke depan, masyarakat telah cukup memiliki kesiapan untuk menghadapinya.
          Tentunya, masyarakat dalam hal ini tidaklah sendirian. Perlu campur tangan pemerintah secara aktif. Artinya, pemerintah sebagai institusi yang memiliki wewenang dan memegang pengetahuan harus melakukan propaganda komprehensif terhadap masyarakat. Propaganda tersebut berupa penyebaran informasi, sosialisasi, serta hal-hal lain perlu dilakukan dalam menghadapi gempa, termasuk simulasi aksi.
          Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mendidik masyarakat terhadap segala sesuatu mengenai gempa. Begitu urgennya fungsi pendidikan gempa yang dilakukan pemerintah, sampai-sampai ada sebagian yang mengusulkannya untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Hal ini tiada lain untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap bencana yang ditanam semenjak sekolah.
          Anak-anak sejak usia sekolah, misalnya, mendapatkan informasi dan pengetahuan lengkap tentang gempa bumi. Masyarakat kemudian dibuat sadar akan bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengancam itu, dan kesadaran tersebut menjadikan mereka berdisiplin menjalankan langkah-langkah yang diperlukan dalam menghadapi gempa bumi. Bukannya takut dan panik sehingga malah berpotensi melahirkan korban baru.
          Bencana gempa bumi memang tidak dapat diprediksi. Namun, langkah-langkah penanganan secara tepat mampu mengurangi jatuhnya angka korban jiwa. Penguatan informasi kepada masyarakat secara lebih dini dapat menjadi bahan dalam mempersiapkan mental masyarakat menghadapi bencana alam seperti gempa bumi. Sehingga akan tercipta kultur masyarakat yang semakin menyadari bahaya bencana alam.
Publikasi Suara Mahasiswa di harian jogja, selasa 13 oktober 2009.

1 komentar: